Tujuh Kehebohan Seputar Pernikahan Agus Salim

Posted by : cintapus December 31, 2024

Agus Salim pada usia 27 tahun kembali ke Hindia-Belanda. Setelah lima tahun lamanya bekerja di Sekretariat Konsulat Belanda di Jeddah, Haji Agus Salim kembali menginjakkan kakinya di kampung halamannya: Koto Gadang.

Sebagai pemuda yang berstatus pegawai pemerintahan (Hindia-Belanda), sudah haji lima kali dan menguasai ilmu agama Islam, ditambah parasnya yang tampan dan luwes, kepulangan Agus Salim di Koto Gadang menjadi buah bibir. Terutama pembicaraan ibu-ibu. Banyak ibu-ibu yang mengidamkan Agus Salim menjadi menantunya.

Sudah menjadi adat di Minangkabau, untuk urusan jodoh putrinya pihak ibu memegang otoritas penuh. Adat Minangkabau menentukan bahwa dalam urusan jodoh pihak pria lebih bersifat pasif, sementara para ibu yang punya gadis cukup umur aktif mencarikan suami anaknya.

Sementara di Koto Gadang sudah menjadi kelaziman perkawinan antarsaudara dekat, antara saudara sepupu asalkan bukan sesuku dilihat dari garis ibu. Berkat adat ini Agus Salim akhirnya dijodohkan dengan Zainatun Nahar Almatsier, gadis manis berusia 18 tahun, masih punya hubungan kekerabatan.

Agus Salim tidak keberatan dijodohkan, namun sebelum menikah dia sudah mengajukan syarat supaya setelah menikah menjadi kepala keluarga penuh. Bukan lagi di bawah bayang-bayang ninik-mamak dan mau diajak mengarungi bahtera rumah tangga.

Syarat lain sebelum menikah Agus Salim minta dipertemukan dengan calon istrinya, sesuatu yang tidak lazim di Koto Gadang. Sebagaimana adat Minangkabau, sebelum menikah calon pengantin dilarang bertemu. Setelah kedua belah keluarga berembuk akhirnya Agus Salim diperbolehkan bertemu calon istrinya di rumahnya di Pisang, Koto Gadang.

Dalam pertemuan itu tetap saja tidak diijinkan bertatap wajah. Antara keduanya dibatasi selembar kain di pintu, masing-masing berada di ruang yang lain. Juga diawasi kedua belah keluarga. Dalam pertemuan itu Agus Salim hanya menanyakan dan harus dijawab Zainatun: Apakah dalam pernikahan ini dia tidak dipaksa dan benar-benar tulus menerima Agus Salim sebagai suaminya?

Dua syarat tersebut sudah cukup menghebohkan bagi kedua keluarga mempelai, juga masyarakat Koto Gadang umumnya. Permintaan Agus Salim dianggap aneh.

Masyudul Haq atau Agus Salim dan Zainatun Nahar Almatsier menikah 12 Agustus 1912. Agus Salim dari suku (kelompok keluarga) Koto sementara Zainatun dari suku Chaniago. Pernikahan berlangsung dalam adat Minangkabau yang sudah berurat-berakar dan berlangsung bertahun-tahun lamanya.

Di hari pernikahan itu Agus Salim mengenakan baju marapulai berwarna merah menyala dan kuning keemasan serta sorban di kepala, sedangkan Zainatun mengenakan baju kurung dan tilakuang (penutup kepala) terbuat dari beludru berusulam khas Koto Gadang.

Semua nampak indah, begitu kesan Zainatun ketika memberi kesaksikan bertahun-tahun kemudian melalui rekaman kaset untuk anak cucunya, seperti dikutip dalam artikel Kustiniyati Mochtar berjudul Cuplikan Riwayat Hidup: Agus Salim Manusia Bebas. Zainatun yang disapa Maatje (sebutan untuk ibu) oleh anak-anaknya ini sebenarnya juga punya perasaan malu atas suaminya yang kebarat-baratan.

Apakah cukup di situ persyaratan dan kehebohan Agus Salim muda kaitan dengan pernikahannya? Ternyata masih ada syarat lain.

Tiga, Agus Salim menyerahkan sejumlah uang kepada mempelai wanita sebagai bukti tanggung jawab suami kepada istri. Karena penyerahan uang seperti ini tidak berlaku pada jaman itu, tentu pihak keluarga istri kaget dan sempat menolak. Setelah Agus Salim menjelaskan dan memberi pengertian akhirnya uang tersebut diterima.

Empat, setelah berlangsung pernikahan, lazim di Koto Gadang, kedua mempelai melakukan kunjungan ke rumah-rumah kerabat. Kerabat siapa saja yang dikunjungi dirembuk di rumah keluarga pihak istri. Dalam rembukan ini si suami boleh hadir namun tidak boleh berpendapat. Menerima apa adanya. Namun Agus Salim ternyata dalam pertemuan itu bersuara dan ikut menentukan kerabat yang akan dikunjungi.

Lima, usai ijab kabul, Agus Salim menyatakan bahwa istrinya sudah menjadi “miliknya”. Bukan lagi “milik” ninik-mamak. Istrinya menjadi tanggung jawabnya dalam kedudukan sebagai kepala kelurga. Ini juga dianggap nyleneh kala itu. Namun Agus Salim mendasarkan pada ajaran agama Islam.

Enam, dianggap sebagai didikan dan pergaulan ala Barat, Agus Salim memperlakukan istrinya dengan mesra di muka umum. Misalnya, Agus Salim mencium istrinya atau menggandeng tangannya ketika berjalan. Satu kebiasaan yang dinilai tabu. Agus Salim melakukan itu, seperti disampaikan kepada istrinya, karena dia ingin mengangkat kedudukan wanita.

Tujuh, Agus Salim tidak mau tinggal atau menempati rumah yang sudah disiapkan mertuanya. Itu kelaziman di Koto Gadang atau sistem matrilineal Minangkabau. Dalam sistem ini bukan hanya rumah yang sudah disiapkan mertua untuk menantunya, namun juga sawah, ladang dan sarana lainnya untuk mempelai berdua. Agus Salim tidak mau menempati rumah pusaka itu dan memilih tinggal di rumah sewaan, tidak tanggung-tanggung jauhnya, yaitu di Betawi (Jakarta).

Alasan Agus Salim ingin hidup mandiri bersama istrinya karena dia menjalankan ajaran Islam, yaitu membina biduk rumah tangganya berdasarkan mawadah wa rahmah atau hubungan kasih sayang secara murni.(*)

RELATED POSTS
FOLLOW US