
Yayasan Hadji Agus Salim pada November 2024, bersamaan dengan Peringatan 70 Tahun Wafatnya Hadji Agus Salim, meluncurkan buku Hadji Agus Salim, The Grand Old Man, Jurnalis, Ulama, Diplomat, 30 November 2024 di Auditorium Ar-Rahim Universitas YARSI, Jakarta. Buku ini berisi tulisan dari beragam tokoh, yang sebagian besar mengenal Agus Salim. Betapa pentingnya isi buku tersebut, minangglobal.com menurunkan nukilan buku tersebut bersambung mulai hari ini.
Seorang anak pribumi di Hindia-Belanda bisa sekolah di sekolah khusus anak-anak orang Eropa, kemudian bergaul akrab dengan mereka, bermain, piknik dan bahkan menonton bioskop bersama.
Pemuda itu adalah Agus Salim, yang nama kecilnya Masyudul Haq. Itu ketika Agus Salim kecil sekolah di Europeese Lagere School (ELS) di Riau. Selain Agus Salim, kakaknya juga sekolah di ELS. Sekolah ELS waktu itu dikenal sebagai sekolahan khusus untuk anak-anak keturunan Eropa, khususnya Belanda.
Agus Salim bisa sekolah di ELS karena ayahnya, Sutan Muhammad Salim, yang diangkat oleh Pemerintah Belanda menjadi Hoofdjaksa pada Landraad di Riau en Onderhorigheclen atau Jaksa Tinggi pada Pengadilan Negeri Riau atau daerah bawahannya, berkedudukan di Riau. Karena jabatan ini Agus Salim dan kakaknya bisa diterima di ELS.
Agus Salim yang pindah dari Koto Gadang, Bukit Tinggi—nagari tempatnya dilahirkan pada 8 Oktober 1884—karena mengikuti penugasan ayahnya pada usia enam tahun, bisa diterima dalam pergaulan dengan anak-anak keturunan Eropa juga tidak terlepas dari kecerdasan Agus Salim yang di atas rata-rata. Terlebih penguasaan Bahasa Belanda Agus Salim kecil boleh dibilang cukup bagus.
Menyekolahkan anaknya ke sekolah Eropa Sutan Muhammad Salim bukannya tidak mendapat pertentangan dari kerabatnya di Koto Gadang. Mereka melayangkan protes karena khawatir pergaulan Agus Salim dengan orang-orang Kristen sehingga mempengaruhi imannya, dan bisa-bisa terpengaruh masuk Kristen.
Ini sebetulnya sempat diakui Agus Salim. Ketika duduk di bangku Hogere Burgershool (HBS) di Batavia, pendidikan dan pergaulannya sempat menjauhkannya dari Islam.
Namun di sekolah Eropa mendidik Agus Salim terbiasa berpikir Barat. Selain itu, selama di sekolah Eropa terbangun benih-benih pada diri Agus Salim untuk tidak merasa minder dengan orang-orang Eropa, atau orang asing umumnya. Jamak kala itu orang pribumi, yang disebut inlander, tertunduk-tunduk bila berpapasan dengan orang-orang Belanda, merasa berada di kasta paling rendah.
Berkat kecerdasannya, setamat ELS Agus Salim melanjutkan ke HBS di Batavia. Di kota ini Agus Salim indekos di rumah orang Belanda, namanya Koks. Selama lima tahun sekolah di HBS Agus Salim menonjol di semua mata pelajaran. Bahkan Agus Salim tidak hanya juara di HBS tempatnya sekolah, namun di semua HBS di Hindia-Belanda (ketika itu HBS hanya ada di Batavia, Bandung, Surabaya).
Setelah lulus HBS sebetulnya Agus Salim ingin melanjutkan sekolah kedokteran di Negeri Belanda. Namun terbentur biaya. Guru-gurunya di HBS, yang tahu kecerdasan Agus Salim, mendorong Agus Salim untuk mengajukan beasiswa ke pemerintah Hindia-Belanda. Upaya itu sudah dilakukan namun ditolak. Bahkan Sutan Muhammad Salim sudah mengurus persamaan status sama dengan orang Eropa (gelijkgesteld) sebagai syarat mendapat beasiswa, tetap saja beasiswa tidak diterima Agus Salim.
Kecerdasan Agus Salim dan gagal menerima beasiswa melanjutkan sekolah ke Belanda terdengar juga oleh Raden Ajeng Kartini di Rembang, Jawa Tengah.
Waktu itu, tahun 1903, Kartini mengajukan permohonan beasiswa untuk mengikuti pendidikan tambahan di Belanda. Permohonan Kartini dikabulkan dengan keluarnya besluit atau surat keputusan dari pemerintah Hindia-Belanda.
Di surat keputusan tertanggal 7 Juli 1903 itu dijelaskan bahwa seluruh biaya pendidikan Kartini sebesar 4.800 gulden ditanggung oleh pemerintah.
Kartini dapat meraih impiannya tersebut juga berkat perjuangan dan bantuan teman-temannya bangsa Belanda. Namun puncak impian yang sudah selangkah lagi diraih itu kandas, karena ternyata orang tua Kartini tidak mengijinkan anak perempuannya menempuh pendidikan tinggi, apalagi ke negeri Belanda. Tidak lama kemudian Kartini harus menikah.
Kepada sahabatnya, Abendanon, wanita Belanda istri pejabat tinggi Belanda bidang pendidikan, melalui surat Kartini menumpahkan kepedihan hatinya. Kemudian Kartini berniat melimpahkan beasiswa tersebut kepada Agus Salim. Jika pun biaya tersebut masih kurang Kartini berjanji mengusahakan dari sumber lain.
Waktu itu usia Kartini 24 tahun (lahir 1979), sementara Agus Salim berusia 19 tahun. Mereka lahir di jaman yang sama, dari keluarga terpandang, dan sama-sama menguasai Bahasa Belanda dengan bagus, dan di kemudian hari sama-sama dikenal sebagai Pahlawan Nasional.
Soal tawaran Kartini ini ada dua pendapat. Pertama, Agus Salim menolak tawaran tersebut dengan alasan: “Kalau pemerintah Belanda mengirim saya hanya karena anjuran Kartini, dan bukan karena kemauan pemerintah, lebih baik tidak.” Kedua, di pihak lain ada yang berpendapat bahwa Agus Salim tidak tahu dengan tawaran Kartini tersebut.
Agus Salim pada akhirnya tidak bisa mewujudkan impiannya sekolah kedokteran di Belanda. Jalan hidup mengarahkan ke Arab Saudi dan tinggal di Jeddah. Di sinilah awal mula lahirnya Tokoh Nasional ini. (bersambung)
