Setelah meninggalkan lembah para raksasa, Mira, Arya, dan Nara melanjutkan perjalanan mereka menuju negeri penyihir seperti yang dikatakan oleh Tawuran. Namun, perjalanan mereka tidaklah mudah. Ketiga bersaudara itu harus menyeberangi padang gurun yang tandus dan penuh misteri. Tidak ada tumbuhan yang tumbuh, dan angin gurun yang panas membuat mereka merasa semakin lelah.
“Apakah kita akan sampai ke negeri para penyihir? Sepertinya gurun ini tidak ada habisnya,” keluh Nara sambil mengusap dahinya yang penuh keringat.
“Kita harus tetap maju, Nara,” jawab Arya dengan tegas, meskipun dalam hatinya ia juga mulai merasakan kelelahan.
Namun, tiba-tiba tanah di bawah kaki mereka mulai bergetar. Getaran itu semakin kuat, membuat mereka harus berhenti berjalan. Mira melihat sekeliling dengan waspada, sementara Arya menarik pedangnya. Nara, yang paling kecil, merapat ke sisi kedua kakaknya.
“Apa ini? Apakah ada lagi raksasa yang mengejar kita?” tanya Mira, wajahnya penuh kekhawatiran.
Belum sempat mereka mencari jawaban, tanah di depan mereka mendadak terbelah, dan dari dalam retakan besar itu muncul makhluk raksasa yang seluruh tubuhnya terdiri dari batu, tanah, dan akar pohon yang menjulur. Matanya menyala merah seperti magma, dan setiap langkahnya menyebabkan tanah di sekitarnya retak.
“Mahluk apa itu?” Nara berbisik dengan ketakutan.
Makhluk itu berdiri di hadapan mereka dengan wujud yang mengerikan. Ia lebih besar dari raksasa yang mereka temui sebelumnya, dengan suara bergemuruh seperti gunung yang meletus.
“Kalian berani memasuki tanahku?” suaranya menggelegar seperti badai pasir.
“Aku adalah Gorak, Penguasa Tanah! Semua yang ada di sini tunduk padaku, dan kalian akan membayar harga untuk melangkah di wilayahku!” kata-katanya menggelegar, membuat siapa saja yang mendengar bergidik ngeri.
“Kami tidak bermaksud mengganggumu! Kami hanya melewati tempat ini untuk mencari jalan menuju negeri para penyihir.” Arya berdiri tegak, meskipun tubuhnya terasa bergetar melihat makhluk sebesar itu.
Namun, Gorak tidak mendengarkan. Dengan raungan dahsyat, dia mengayunkan tangannya yang besar, membuat retakan di tanah semakin meluas. Tanah di sekitar mereka mulai tenggelam, seperti tersedot ke dalam jurang yang semakin lebar.
“Kita harus menghindar!” teriak Mira, menarik Nara menjauh dari jurang yang terbuka.
Arya mencoba menyerang, mengayunkan pedangnya ke arah kaki Gorak, tapi serangannya seolah tak berarti. Pedang itu hanya terpental kembali seolah-olah mengenai dinding batu yang tak dapat ditembus.
“Dia terlalu kuat! Apa yang bisa kita lakukan?” seru Arya.
Gorak, semakin marah, mengangkat kedua tangannya ke langit, dan dari tanah di sekitarnya muncul bebatuan besar yang melayang di udara, siap dilemparkan ke arah mereka. Dengan satu gerakan, dia melemparkan batu-batu itu ke arah ketiga bersaudara, memaksa mereka berlari untuk menghindar.
“Ini tidak mungkin!” Mira berteriak, terengah-engah.
“Kita harus menemukan cara lain untuk menghentikannya!”
Nara, yang selama ini bersembunyi di belakang, tiba-tiba merasakan sesuatu di dalam dirinya. Dia menatap tanah di bawah kaki mereka, memperhatikan bahwa setiap gerakan Gorak menyebabkan getaran yang aneh, seolah-olah tanah itu memiliki kehidupan sendiri.
“Kak, tunggu! Aku punya ide!” Nara tiba-tiba berseru, membuat Mira dan Arya, yang sedang berusaha mencari perlindungan, terkejut mendengar keberaniannya.
“Apa yang kau maksud, Nara?” tanya Mira, penuh keraguan.
Nara mengingat cerita yang pernah ia dengar dari ibu mereka tentang makhluk-makhluk kuno yang hidup di dalam tanah, yang hanya bisa dikendalikan oleh kekuatan alami.
“Aku ingat ibu pernah bercerita bahwa makhluk seperti ini tidak bisa dikalahkan dengan kekerasan. Mereka hanya merespons energi yang seimbang … kita harus berbicara dengannya, bukan melawannya!”
“Bagaimana kita bisa bicara dengan makhluk sebesar itu? Dia bahkan tidak mendengarkan kita.” Arya tampak ragu.
Namun, Nara tidak mundur. Dengan keberanian yang baru ditemukan, dia mendekati tepi retakan besar di mana Gorak berdiri. Dengan suara yang bergetar, tetapi penuh keyakinan, dia berteriak,
“Gorak! Dengarkan kami! Kami tidak ingin mengganggumu. Kami hanya lewat. Kami menghormati tanahmu!” Suara kecil Nara tampaknya tenggelam dalam raungan Gorak yang sedang marah.
Namun, ketika kata-kata itu bergema di udara, sesuatu yang aneh terjadi. Getaran tanah mulai mereda, dan makhluk raksasa itu menghentikan serangannya. Matanya yang merah menyala mulai meredup, dan dia menatap Nara dengan tatapan bingung.
“Kau … menghormati tanahku?” Gorak bertanya, suaranya tak lagi terdengar penuh amarah. Ada nada kebingungan di sana.
Ya. Kami tahu bahwa kau adalah penguasa tanah ini, dan kami tidak ingin melanggar hakmu. Kami hanya butuh melewati tempat ini untuk melanjutkan perjalanan kami.” angguk Nara, meskipun kakinya gemetar.
Gorak terdiam sejenak, lalu matanya yang menyala kembali menjadi lebih lembut. Tubuhnya yang besar bergetar, dan akar-akar yang menjulur dari tubuhnya tampak berkurang. Dia menatap Nara dengan heran.
“Kalian adalah manusia pertama yang berbicara dengan rasa hormat padaku dalam ribuan tahun,” kata Gorak pelan.
“Semua yang lain datang untuk menaklukkan atau menghancurkan tanah ini. Namun, kalian … kalian berbeda.” Lanjutnya dengan suara yang tidak semengerikan di awal tadi.
Mira dan Arya, yang awalnya bersiap untuk melawan, mulai menyadari perubahan suasana. Mereka berjalan mendekati Nara dan berdiri di sisinya.
“Kami hanya mencari jalan,”
“Kami tidak ingin mengambil apa pun darimu.”
Gorak mengangguk pelan. “Kalian memang memiliki hati yang berbeda. Kalian tidak menyerang, tidak ingin menghancurkan. Dan karena itu, aku tidak akan menyakiti kalian lagi.”
Tiba-tiba, tanah di sekitar mereka mulai berubah. Retakan besar yang sebelumnya terbuka mulai menyatu kembali, dan tanah menjadi lebih tenang. Bebatuan besar yang melayang di udara perlahan turun kembali ke tanah, dan suasana di sekitar mereka kembali normal.
“Terima kasih,” kata Mira dengan tulus.
“Kami tidak tahu bagaimana bisa keluar dari sini tanpa bantuanmu.” Lanjut Mira yang membuat Gorak tersenyum samar, wajahnya yang besar kini tidak lagi tampak menyeramkan.
Aku akan membantumu menemukan jalan. Di bawah tanah ini, ada lorong rahasia yang akan membawa kalian langsung ke perbatasan negeri penyihir. Itu adalah jalan yang aman, jauh dari bahaya.” Kata Gorak seraya mengayunkan tangannya, dan sebuah pintu rahasia terbuka di bawah tanah, memperlihatkan tangga yang menuju ke dalam kegelapan.
“Kalian bisa menggunakan jalan ini. Ingatlah, penghormatan terhadap alam dan makhluknya akan membawa kalian lebih jauh dari yang kalian kira.” Lanjutnya.
Ketiga bersaudara itu menatap pintu yang terbuka dengan rasa syukur. Mereka tahu bahwa tanpa keberanian Nara, mereka mungkin tidak akan pernah bisa bertahan menghadapi Gorak.
“Terima kasih, Gorak,” kata Nara dengan senyum kecil.
Gorak mengangguk sekali lagi, lalu perlahan-lahan mulai kembali masuk ke dalam tanah, tubuhnya menyatu dengan bumi, hingga akhirnya dia menghilang sepenuhnya.
Dengan hati yang lega dan semangat yang baru, ketiga bersaudara itu melangkah ke dalam lorong rahasia, menuju petualangan mereka berikutnya di negeri para penyihir.
PENULIS
Rissa Churria adalah pendidik, penyair, esais, pelukis, aktivis kemanusiaan, pemerhati masalah sosial budaya, pengurus Komunitas Jagat Sastra Milenia (JSM), pengelola Rumah Baca Ceria (RBC) di Bekasi, anggota Penyair Perempuan Indonesia (PPI), saat ini tinggal di Bekasi, Jawa Barat, sudah menerbitkan 7 buku kumpulan puisi tunggal, 1 buku antologi kontempelasi, serta lebih dari 100 antologi bersama dengan para penyair lainnya, baik Indonesia maupun mancanegara. Rissa Churria adalah anggota tim digital dan siber di bawah pimpinan Riri Satria, di mana tugasnya menganalisis aspek kebudayaan dan kemanusiaan dari dunia digital dan siber.