Oleh Rissa Churria
Setelah berhasil mendapatkan Kitab Peta Harta Karun di Gunung Vulkara, Arya, Nara, dan Mira kembali menyusuri jalan mereka, mempersiapkan diri untuk tantangan berikutnya. Peta kuno yang mereka temukan di dalam kitab itu menunjukkan lokasi berikutnya yang harus mereka kunjungi: Sarang Angin.
Namun, petunjuk yang tertulis dalam kitab itu sangat membingungkan. Terdapat kalimat yang berbunyi:
“Hanya mereka yang memahami makna terdalam angin yang akan menemukan sarangnya. Di sanalah kebenaran terungkap, dan rahasia yang tersembunyi akan terungkap tanpa bentuk.”
Mira, yang telah mempelajari sihir angin di masa lalu, merasa bahwa ada sesuatu yang lebih dari sekadar peta fisik.
“Sarang angin? Bagaimana mungkin angin, yang tidak berbentuk, memiliki sarang?” gumamnya sambil merenungi kata-kata dalam kitab itu.
“Yang jelas, kita harus terus maju. Tidak ada yang mudah dalam petualangan ini.” Arya menimpali sambil mengangkat bahu.
“Kita sudah menghadapi api dan lahar. Apa pun yang datang setelah ini, aku yakin kita bisa mengatasinya.” Nara mengangguk, sambil mengencangkan tali ranselnya.
Mereka memulai perjalanan menuju dataran tinggi yang tertera di peta. Puncak tertinggi di dunia, yang dikenal sebagai Puncak Zephyros, tempat legenda mengatakan bahwa di sanalah Penguasa Angin tinggal. Perjalanan menuju puncak itu penuh dengan tantangan. Mereka harus melewati lembah-lembah yang tertutup kabut, hutan-hutan yang seakan selalu berbisik karena embusan angin tak berkesudahan, dan meniti tebing curam yang membuat napas mereka tersengal-sengal.
Selama perjalanan, angin seakan menjadi lebih hidup. Tiupan kencangnya tidak hanya terasa sebagai dorongan di punggung mereka, tetapi terkadang terasa seperti suara bisikan-bisikan, memanggil mereka untuk terus maju, kadang merintangi dengan badai kecil yang tak terduga.
Setelah berhari-hari mendaki dan berjuang melewati berbagai rintangan, mereka tiba di puncak Zephyros. Namun, yang mereka temukan hanyalah hamparan batu karang kosong, tanpa tanda-tanda kehidupan. Tidak ada sarang, tidak ada gua, tidak ada petunjuk bahwa ada sesuatu yang berharga di tempat itu.
“Apa ini?” kata Nara dengan napas terengah-engah.
“Kita sudah sampai di puncak tertinggi, tapi tidak ada apa-apa di sini.” Mira pun bertanya dengan terengah.
Arya menatap sekeliling, kebingungan. “Aku juga tidak melihat apapun. Mungkin kita salah jalan?”
Namun, Mira tidak berhenti berpikir. Dia merasakan ada sesuatu yang aneh di udara. Angin di puncak ini tidak seperti angin di tempat lain. Rasanya lebih lembut, namun penuh energi, seakan ada kekuatan besar yang tersembunyi di baliknya. Tiba-tiba, dia ingat pelajaran yang pernah dia dapatkan dari gurunya di dunia sihir.
“Angin tak pernah bisa dilihat, tapi selalu bisa dirasakan. Kekuatan sejatinya ada pada apa yang tidak terlihat.”
“Ini bukan tentang apa yang bisa kita lihat,” Mira berkata dengan tegas.
“Ini tentang apa yang bisa kita rasakan.” tambahnya.
Dia menutup matanya, memusatkan pikirannya pada angin yang berputar di sekitar mereka. Angin tersebut mulai mengelilingi mereka lebih cepat, seakan memanggil. Kemudian, tiba-tiba, angin itu berubah menjadi badai kecil, membuat ketiga saudara itu harus melindungi wajah mereka dari debu dan batu yang beterbangan.
“Apa yang terjadi?” seru Arya.
“Sabar! Aku hampir menemukannya.” Mira menjawab dengan mata tetap tertutup, mencoba merasakan pola angin tersebut.
Angin terus berputar, semakin kencang, hingga tiba-tiba badai itu berhenti. Semua menjadi sunyi. Dan di hadapan mereka, muncul sosok misterius, tinggi, dan elegan. Sosok itu tampak transparan, seakan terbuat dari udara itu sendiri.
“Selamat datang di kerajaan angin,” suara lembut namun kuat terdengar, bergema di udara.
“Aku adalah Aeolus, Penguasa Angin. Kalian telah mencapai puncak Zephyros, namun perjalanan kalian belum selesai.”
“Kami mencari Sarang Angin, tempat rahasia kunci terakhir tersimpan. Kami butuh bantuanmu untuk menemukannya.” Mira maju beberapa langkah, menatap dengan penuh keyakinan.
“Sarang Angin? Banyak yang datang ke sini untuk mencari sesuatu yang mereka anggap nyata. Namun, sarang angin itu hanyalah filosofi. Angin tak pernah memiliki sarang. Dia mengembara, bebas, tak terikat oleh batasan apa pun.” Aeolus tersenyum samar.
“Jadi … apa yang kita cari tidak ada?” tanya Nara dengan bingung.
“Tidak, anak kecil,” jawab Aeolus.
“Yang kalian cari bukanlah sarang fisik. Kunci untuk menemukan kebenaran ada dalam pemahaman kalian tentang angin. Kalian harus merasakan, bukan mencari. Karena rahasia yang kalian kejar tersembunyi dalam kebebasan itu sendiri.”
“Maksudmu, kita harus membiarkan angin menuntun kita?” Mira menatap langit dengan kening berkerut.
“Ya. Ketika kalian berhenti mencari dengan mata, dan mulai mendengarkan dengan hati, kalian akan menemukan apa yang kalian butuhkan.” Aeolus mengangguk.
Angin mulai berputar lembut di sekitar mereka lagi, kali ini membawa aroma laut dan bunga. Dengan napas dalam, Mira mengangkat Kitab Peta yang mereka bawa. Tiba-tiba, halaman-halamannya mulai berkibar dengan sendirinya, seakan merespon angin. Huruf-huruf yang sebelumnya tersembunyi mulai muncul, terukir dalam bahasa kuno yang hanya bisa dibaca oleh mereka yang telah memahami rahasia angin.
“Aku bisa membacanya sekarang,” Mira berbisik, matanya berbinar.
“Ini bukan tentang tempat, tapi tentang perjalanan. Kunci terakhir terletak pada pemahaman kita tentang alam, tentang angin, air, api, dan tanah.” Lanjutnya bengan mata berbinar.
Arya dan Nara menatap satu sama lain, bingung namun terpesona. Mereka tahu bahwa petualangan ini telah mengubah cara pandang mereka terhadap dunia. Angin, meskipun tak terlihat, kini menjadi sahabat yang membimbing mereka.
“Ayo, kita harus kembali,” kata Arya sambil tersenyum.
“Tapi kali ini, kita biarkan angin yang menuntun kita.”
Mereka berterima kasih pada Aeolus dan memulai perjalanan turun dari Puncak Zephyros, diiringi oleh hembusan angin yang lembut. Meski mereka tidak menemukan sarang fisik, mereka telah menemukan jawaban yang lebih dalam dan bermakna. Dengan Kitab Peta yang kini terbuka sepenuhnya, mereka tahu bahwa petualangan mereka belum berakhir.(*)
TENTANG PENULIS ——————————————————————————————————
Rissa Churria adalah pendidik, penyair, esais, pelukis, aktivis kemanusiaan, pemerhati masalah sosial budaya, pengurus Komunitas Jagat Sastra Milenia (JSM), pengelola Rumah Baca Ceria (RBC) di Bekasi, anggota Penyair Perempuan Indonesia (PPI), saat ini tinggal di Bekasi, Jawa Barat, sudah menerbitkan 7 buku kumpulan puisi tunggal, 1 buku antologi kontempelasi, serta lebih dari 100 antologi bersama dengan para penyair lainnya, baik Indonesia maupun mancanegara. Rissa Churria adalah anggota tim digital dan siber di bawah pimpinan Riri Satria, di mana tugasnya menganalisis aspek kebudayaan dan kemanusiaan dari dunia digital dan siber.