Oleh Rissa Churria
Setelah berhasil melewati lorong rahasia yang dibuka oleh Gorak, ketiga bersaudara—Mira, Arya, dan Nara—akhirnya tiba di tepi sebuah danau luas. Airnya berkilau di bawah cahaya matahari yang mulai tenggelam, menciptakan pantulan emas di permukaannya. Udara di sekitar mereka terasa sejuk dan lembut, namun suasana misterius terasa kuat di sini.
“Kau yakin ini jalannya?” tanya Arya, memandang danau dengan curiga.
“Ini lebih terlihat seperti ujung dari sebuah perjalanan, bukan permulaan.”
Mira mengeluarkan peta kuno yang mereka dapatkan dari Tawuran, peri bijaksana yang pernah membantu mereka. Ia memeriksa sekali lagi simbol-simbol pada peta.
“Tepat di bawah sini … di dasar danau ini, tersembunyi Kunci Waktu,” katanya dengan yakin.
“Tanpa itu, kita tidak akan bisa memasuki negeri para penyihir.”
“Kunci Waktu?” Nara menyipitkan matanya.
“Tapi bagaimana kita bisa mencarinya di dasar danau yang sebesar ini? Kita bahkan tidak tahu seberapa dalam danau ini.” Nara tampak berpikir sambil memperhatikan danau yang ada di hadapan mereka.
Kita tidak punya pilihan lain. Kita harus menemukannya, atau seluruh perjalanan ini akan sia-sia.” Arya menatap danau itu dengan tegas.
Namun, sebelum mereka sempat bergerak lebih jauh, air di danau mulai bergetar. Ombak kecil mulai terbentuk, meskipun tidak ada angin yang bertiup. Tiba-tiba, dari kedalaman air, muncul pusaran besar yang membentuk kolom air tinggi yang berputar-putar di tengah danau. Dari dalam kolom air itu, sosok besar muncul, semakin jelas seiring dengan naiknya air ke permukaan.
Itu adalah makhluk raksasa berwujud manusia, namun seluruh tubuhnya terbuat dari air. Matanya berkilau seperti kristal, dan setiap gerakan tangannya membuat air di sekitarnya beriak dengan dahsyat. Ia menatap ketiga bersaudara itu dengan penuh kekuasaan.
“Apa yang kalian cari di wilayahku?” suaranya bergema seperti suara gelombang pasang yang menerjang pantai.
“Kami adalah pengembara yang sedang mencari Kunci Waktu,” kata Nara sembari merapat ke sisi Mira, ketakutan, tapi Mira berdiri tegak, berusaha untuk tidak menunjukkan rasa gentarnya.
“Kami tidak bermaksud mengganggumu, tetapi kunci itu adalah satu-satunya cara bagi kami untuk melanjutkan perjalanan kami.” lanjut Nara dengan berusaha setenang mungkin.
“Kunci Waktu? Tidak sembarang makhluk bisa menyentuhnya. Kunci itu adalah benda suci, dijaga oleh lautan, dan hanya yang layak yang bisa memilikinya.” Makhluk air itu menggeram rendah, dan gelombang besar mulai terbentuk di danau, seolah-olah siap menerjang mereka.
“Bagaimana caranya agar kami dianggap layak?” tanya Arya, tangannya menggenggam erat pedangnya, meskipun ia tahu senjata itu mungkin tidak berguna melawan air.
Penguasa Air, yang dikenal sebagai Aqualis, menyipitkan matanya dan tersenyum samar. “Jika kalian bisa membuktikan keberanian dan kesetiaan kalian kepada lautan, maka aku akan mengizinkan kalian mengambilnya. Tapi jika kalian gagal, kalian akan tenggelam selamanya di dasar laut.”
Tanpa memberi mereka kesempatan untuk menolak, Aqualis mengayunkan tangannya, dan air dari danau mulai membentuk terowongan besar di sekeliling mereka. Sebelum mereka bisa bereaksi, tubuh mereka tersedot masuk ke dalam pusaran air yang berputar dengan cepat, membawa mereka ke kedalaman laut yang sangat gelap.
Ketika mereka sadar, mereka sudah berada di dasar laut. Udara yang seharusnya membuat mereka tenggelam tiba-tiba lenyap, dan mereka bisa bernapas seperti biasa. Di depan mereka terbentang istana kristal yang megah, dikelilingi oleh karang-karang berwarna-warni dan kehidupan laut yang indah. Namun, suasana megah itu disertai dengan ancaman, karena di setiap sudut, tampak rintangan dan bahaya yang menunggu.
“Kita harus menemukan kunci itu,” kata Arya dengan tegas, melangkah maju di atas pasir dasar laut.
Tiba-tiba, makhluk-makhluk laut yang menyerupai prajurit muncul di hadapan mereka, bersenjata tombak yang terbuat dari koral tajam. Tanpa peringatan, para prajurit itu menyerang, memaksa Arya dan Mira untuk menghunus senjata mereka dan bertarung.
“Ini pasti ujian pertama!” seru Mira, berusaha menghindari serangan tombak dari salah satu prajurit laut.
Arya bertarung dengan keberanian yang luar biasa, memutar pedangnya dengan cepat, menangkis serangan demi serangan. Nara, yang lebih kecil dan tidak berpengalaman dalam bertarung, memanfaatkan ukurannya untuk bergerak cepat, menghindari para prajurit yang menyerangnya.
“Lawan mereka, Arya!” seru Mira.
“Kita harus bertahan!” Mira berusaha menangkis dua prajurit sekaligus.
Pertarungan berlangsung dengan sengit, tetapi akhirnya, ketiga bersaudara itu berhasil mengalahkan para prajurit laut. Namun, mereka tahu bahwa itu baru awal dari ujian yang harus mereka hadapi.
Setelah para prajurit laut mundur, mereka memasuki istana kristal. Di dalamnya, mereka menemukan sebuah lorong panjang yang dihiasi dengan pilar-pilar yang bersinar dengan cahaya biru lembut. Di ujung lorong itu, tampak sebuah pintu besar yang terkunci dengan simbol kuno.
“Itu pasti tempat di mana Kunci Waktu disembunyikan,” kata Mira dengan napas terengah-engah.
Namun, ketika mereka mendekati pintu itu, tiba-tiba lantai di bawah mereka mulai bergetar. Dari balik pilar, muncul seekor naga laut yang sangat besar, dengan sisik berkilauan dan mata merah menyala. Naga itu mengeluarkan raungan keras, menghentikan langkah mereka.
“Kalian harus mengalahkanku jika ingin mengambil kunci itu,” raung naga laut itu, mengibaskan ekornya yang besar, menyebabkan arus air kuat yang hampir membuat mereka terpental.
“Kita tidak bisa melawannya dengan kekerasan,” Mira memegang lengan Arya ketika ia akan menghunus pedangnya lagi.
“Naga laut ini pasti adalah penjaga kunci, dan kita harus menemukan cara lain untuk menghadapinya.” Lanjutnya dengan mata yang tetap siaga.
Nara, yang selama ini diam, maju ke depan. Ia mengingat pelajaran dari Gorak, Penguasa Tanah, yang memberi mereka petunjuk bahwa tidak semua makhluk harus dilawan dengan pedang.
“Tuan Naga,” kata Nara dengan suara bergetar.
“Kami datang dengan niat baik. Kami tidak ingin merusak tempat ini. Kami hanya ingin melanjutkan perjalanan kami untuk menyelamatkan dunia dari kehancuran.” Naga laut itu menghentikan gerakannya, menatap Nara dengan matanya yang besar.
“Apa yang membuat kalian berpikir bahwa kalian layak memiliki Kunci Waktu?” tanyanya kemudian.
“Kami tidak tahu apakah kami layak,” jawab Nara jujur.
“Tetapi kami berjanji untuk menggunakannya demi kebaikan dan melindungi alam semesta dari bahaya.” Lanjutnya dengan yakin.
Naga itu terdiam sejenak, seolah mempertimbangkan kata-kata Nara. Lalu, ia mengangguk perlahan.
“Kalian telah menunjukkan keberanian dan kebijaksanaan. Aku akan mengizinkan kalian mengambil Kunci Waktu, tetapi ingatlah, dengan kekuatan itu datang tanggung jawab besar.”
Dengan satu kibasan ekornya, naga laut membuka pintu besar itu, memperlihatkan sebuah ruangan kecil di dalamnya. Di tengah ruangan itu, di atas altar kristal, terletak sebuah kunci berkilauan yang tampak terbuat dari cahaya murni.
“Kunci Waktu,” bisik Mira dengan kagum.
Ketiga bersaudara itu melangkah maju dan mengambil kunci itu dengan hati-hati. Saat mereka memegangnya, ruangan bergetar, dan mereka merasakan kekuatan besar mengalir melalui tubuh mereka.
“Kita berhasil,” kata Arya dengan lega.
Namun, mereka tahu bahwa ini baru permulaan. Dengan Kunci Waktu di tangan mereka, perjalanan menuju negeri para penyihir semakin dekat, tetapi bahaya yang lebih besar masih menunggu di depan.(*)
Rissa Churria adalah pendidik, penyair, esais, pelukis, aktivis kemanusiaan, pemerhati masalah sosial budaya, pengurus Komunitas Jagat Sastra Milenia (JSM), pengelola Rumah Baca Ceria (RBC) di Bekasi, anggota Penyair Perempuan Indonesia (PPI), saat ini tinggal di Bekasi, Jawa Barat, sudah menerbitkan 7 buku kumpulan puisi tunggal, 1 buku antologi kontempelasi, serta lebih dari 100 antologi bersama dengan para penyair lainnya, baik Indonesia maupun mancanegara. Rissa Churria adalah anggota tim digital dan siber di bawah pimpinan Riri Satria, di mana tugasnya menganalisis aspek kebudayaan dan kemanusiaan dari dunia digital dan siber.