Naning Scheid seorang dosen, peneliti, penyair, esais, dan penerjemah asal Indonesia yang telah menetap di Belgia selama bertahun-tahun, menjadi tamu dalam program Jabat Tangan, salah satu segmen program Jagat Sastra Milenia (JSM).
Kehadirannya kali ini menghadirkan diskusi mendalam mengenai puisi Prancis klasik dan peluncuran buku terjemahannya yang terbaru, Les Fleurs du Mal atau The Flowers of Evil (terjemahan Bahasa inggris), karya Charles Baudelaire yang diterjemahkan menjadi Bunga-bunga Iblis oleh Naning. Naning menerjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia langsung dari sumber aslinya, yaitu buku yang berbahasa Prancis.
Naning Scheid dikenal luas atas kiprahnya dalam menjembatani sastra Indonesia dengan dunia internasional, khususnya melalui karyanya sebagai penerjemah. Dalam perbincangannya, Naning berbagi pengalaman dan tantangan dalam menerjemahkan puisi Prancis klasik, sebuah genre yang dikenal kaya akan metafora, struktur, dan lapisan emosi yang kompleks.
Menurut Naning, menerjemahkan puisi klasik tidak sekadar memindahkan kata-kata dari satu bahasa ke bahasa lain, tetapi juga membawa semangat, ritme, dan keindahan aslinya ke dalam bahasa baru. “Puisi Prancis klasik adalah napas dari sebuah zaman. Dalam menerjemahkannya, kita harus menjaga keseimbangan antara kesetiaan terhadap teks asli dan kepekaan terhadap pembaca modern,” ujarnya.
Pada kesempatan tersebut, Naning memperkenalkan buku terjemahannya, Les Fleurs du Mal atau Bunga-bunga Iblis. Buku puisi karya Charles Baudelaire ini pertama kali diterbitkan pada tahun 1857 dan dikenal sebagai salah satu karya monumental dalam sastra Prancis.
Selain itu Naning juga menulis buku Puisi Sebagai Autobiografi berisikan kumpulan catatannya ketika dalam proses menerjemahkan buku Les Fleurs du Mal.
Naning menjelaskan bahwa Les Fleurs du Mal tidak hanya menyoroti tema-tema seperti cinta, kematian, dan kecemasan, tetapi juga mengeksplorasi sisi gelap manusia yang seringkali dianggap tabu. “Baudelaire menyajikan keindahan dalam keburukan, sesuatu yang kontroversial pada zamannya, tetapi tetap relevan hingga hari ini,” ungkapnya.
Buku terjemahan ini menjadi upaya Naning untuk membawa pembaca Indonesia lebih dekat dengan kejeniusan Baudelaire, sekaligus memberikan konteks sejarah dan budaya yang melingkupi karya tersebut. Dalam proses penerjemahan, ia berusaha menjaga intensitas dan kedalaman emosi yang menjadi ciri khas puisi-puisi Baudelaire.
Dalam diskusi yang berlangsung hangat, Naning menggarisbawahi relevansi puisi klasik bagi generasi masa kini. Ia menyebut bahwa meskipun puisi-puisi tersebut ditulis dalam konteks zaman yang berbeda, tema-tema universal seperti cinta, kehilangan, dan eksistensi tetap relevan. Menterjemahkan tidak sekadar menterjemahkan, akan tetapi selain belajar bahasa, linguistik, budaya, dan lain sebagainya yang bersinggungan dengan puisi, entitas dan latar belakang penulis.
“Puisi seperti karya Baudelaire ini mengajarkan kita untuk menerima sisi terang dan gelap kehidupan, sesuatu yang penting di tengah dunia yang serba instan,” tuturnya.
Pertanyaan enarik diajukan oleh Bang Riri Satria yang memandu jalannya diskusi, “Mengapa ada puisi karya Baudelaire pada buku tersebut yang disensor pemerintah Prancis saat itu?”
Naning menjelaskan bahwa saat itu keenam puisi tersebut dianggap bertentengan dengan Gereja, sehingag dianggap sebagai hal yang harus diberangus. Saat itu Gereja masih memegang peranan penting dalam rezim pemerintahan Prancis.
Acara Jabat Tangan kali ini menegaskan komitmen JSM untuk menghadirkan diskusi-diskusi sastra yang bermakna dan mendalam. Kehadiran Naning Scheid bukan hanya memperkaya wawasan tentang sastra Prancis, tetapi juga menginspirasi penulis dan pembaca di Indonesia untuk terus menggali karya-karya lintas budaya.
Dengan terjemahan Les Fleurs du Mal, Naning Scheid sekali lagi membuktikan bahwa sastra memiliki kekuatan untuk menjembatani perbedaan bahasa, budaya, dan generasi. Ia mengajak pembaca Indonesia untuk mendalami karya-karya Baudelaire, bukan hanya sebagai teks sastra, tetapi sebagai cermin refleksi kehidupan yang universal dan abadi.
Salam sastra, salam budaya, salam literasi. Semangat dan bahagia.(*)
Rissa Churria
——————————————————————————————————————————
Rissa Churria adalah pendidik, penyair, esais, pelukis, aktivis kemanusiaan, pemerhati masalah sosial budaya, pengurus Komunitas Jagat Sastra Milenia (JSM), pengelola Rumah Baca Ceria (RBC) di Bekasi, anggota Penyair Perempuan Indonesia (PPI), saat ini tinggal di Bekasi, Jawa Barat, sudah menerbitkan 10 buku kumpulan puisi tunggal, 1 buku antologi kontempelasi, 1 buku Pedoman Bahasa Indonesia untuk Mahasiswa, 1 buku Esai, serta lebih dari 100 antologi bersama dengan para penyair lainnya, baik Indonesia maupun mancanegara. Rissa Churria adalah anggota tim digital dan siber di bawah pimpinan Riri Satria, di mana tugasnya menganalisis aspek kebudayaan dan kemanusiaan dari dunia digital dan siber.