Oleh: Sihar Ramses Simatupang *))
Sebuah teks sastra adalah pelajaran dari masa lalu, masa kini dan terawangan masa depan pengarang terhadap sejarah yang ada di sekitar dia menulis. Dia memiliki potensi fiksi yang imajinatif, namun sekaligus dia memiliki fungsi mimetik, semacam cermin membaca realitas.
Semacam fungsi sejarah, bedanya karya sastra bukan hanya hamparan peta dan pelajaran masa lalu. Sastra berpretensi untuk mengukur kedalaman batin tiap tokoh, baik tokoh utama dan sampingan. Karya sastra menjadi alat imajinasi, renungan, taksiran, kegalauan pengarang terhadap sejarah masa lalu dan masa kini, juga ramalan terhadap masa depan.
Sebagaimana juga kita membaca karya Arus Balik atau Arok Dedes karya Pramoedya Ananta Toer, Panembahan Reso karya Rendra, atau bahkan lebih jauh lagi Siti Nurbaya karya Marah Rusli, karya sastra menyelipkan semiotik baik di tokoh, alur bahkan latarnya, plus kesimpulan dan gagasan pengarang bahkan obsesi komunal masyarakat – semacam trans-individu pengarang ketika berinteraksi dengan lingkungan sosialnya bila teringat Georg Lukacs – di teks tersebut.
Belakangan ini, memang semakin jarang penulis yang mengangkat epos besar. Kita mengenal Pramoedya Ananta Toer, Arswendo Atmowiloto, atau yang mengusung dunia wayang Jawa seperti Yanusa Nugroho atau pun Sindhunata.
Kehadiran AJ Susmana lewat novel sejarahnya ini, Menghadang Kubilai Khan – seharusnya menggunakan kata “mengadang” – menambah referensi tentang epos kerajaan Jawa di dalam novel untuk menjadi santapan bervitamin kaum generasi muda khususnya generasi Z.
Menulis epos besar itu bukan tanpa risiko. Perhitungan cara pandang tokoh utama, keberadaan tokoh sampingan, latar cerita baik tempat, waktu, ruang di sekeliling para tokoh. Hal itu termasuk fase kostum, gelas, meja hingga apa pun yang berkaitan dengan benda di sekelilingnya. Juga alur kisah, bagaimana yang dipilih pengarang dan bagaimana hubungannya dengan kenyataan sejarah yang melandasi kisah itu dibuat.
Kisah ini tentang sejarah Kediri. Latar sisa kerajaan dari keturunan Ken Arok yang merebut Ken Dedes setelah sebelumnya merebut dari penguasa kerajaan lama Tunggul Ametung.
Kertanegara sebagai raja. Dengan bekal referensi sejarah dan sekali lagi diingatkan bahwa ini adalah novel, AJ Susmana berani memasuki alam batin seorang Kertanegara.
Di novel ini, keberadaan menantu Kertanegara, Raden Wijaya-lah yang mendapatkan porsi yang cukup besar. Benak pengarangnya meluncur deras dalam tuturan dan pemikiran dari Raden Wijaya. Raden Wijayalah letak masa depan kerajaan dalam novel AJ Susmana ini. Dia bersama puteri Kertanegara yang adalah isterinya itu, terdesak ke ujung timur Pulau Jawa, Pulau Madura, namun tetap memberikan harapan masa depan Jawa di dalam novel ini.
AJ Susmana tak menghadirkan tokoh sampingan sebagai biografi imajiner di antara epos besar. Dia berani masuk langsung ke epos besar. Mata penulis masuk ke tokoh sejarah yang pernah ada di Tanah Nusantara.
Kertanegara bernama lain Murdwaja. Kertanegara bahkan mendapatkan surat dari ayahandanya, Baginda Jaya Wisnuwardhana. Ayahandanya memerintahkan Kertanegara menjadi Yuwaraja di Kediri. Sementara adiknya Turuk Bali yang bersuami Jayakatwang diangkat sebagai Yuwaraja di Gelang-Gelang.
AJ Susmana bahkan menitipkan perenungan sejarahnya dengan cara berpikir tokoh Kertanegara – sekaligus Raden Wijaya – tentang masa lalu raja-raja Kediri, kelemahan sekaligus kelebihannya.
Akibatnya, karya sastra menyimpan gugus peta yang didapat pengarang dari kisah, folklore, ‘dendam komunal’, ‘luka publik’ lalu diselip melalui teks sastra, semacam virus yang siap ditularkan ke benak pembacanya, menghantar gagasan yang dimiliki pembaca untuk lebih jauh lagi didorong setelah membaca karya sastra.
Potensi gagasan di dalam karya sastra ini tak pernah selesai karena tiap sejarah sosial dan politik bahkan budaya memiliki hikmahnya sendiri – setidaknya hikmah adalah solusi setelah pengarang membaca peta sejarah dan zaman.
Kerajaan Kediri, Singasari, Tumapel, bahkan kerajaan-kerajaan Jawa merupakan konflik naik-turun sebagaimana yang pernah terjadi di kerajaan sebelumnya seperti Majapahit dan Sriwijaya. Kerajaan asing seperti Kubilai Khan – Mongol kemudian berganti rupa dengan masuknya Eropa ke wilayah kerajaan di Nusantara.
Wajahnya tak lebih dan tak kurang sama dengan Indonesia saat ini. Begitu pun dengan karakternya. Para pahlawan akan tetap ada, begitu pun dengan penghianat. Para pecundang tetap akan ada, begitu pun dengan yang berselingkuh dan yang korupsi, yang mengorbankan keluarga dan harta-benda sekaligus yang tamak tiada tara.
Novel ini berpotensi untuk pengayaan dan vitamin pada pengetahuan kita tentang sejarah. Tapi novel ini tak bisa dielakkan juga dari gugus kesimpulan, peta perenungan, kompas gagasan, seorang AJ Susmana dalam membaca kemelut sejarah kerajaan Jawa dan Nusantara juga kondisi negerinya, Indonesia hingga sekarang. Hamparan tokoh yang ada, bangsa asing, penghianat dan pahlawan, orang bijak, bodoh atau serakah dan korup, gejala pertarungan ekonomi, politik dan sosial, semuanya sama dengan kondisi sejarah kerajaan yang dia jalin dan bangun di dalam novelnya.
Menurut Lucien Goldman, dalam kerangka pemikiran strukturalisme genetiknya, pada dasarnya setiap teks terus bergerak dan dinamis. Teks tentang kisah Kertanegara dan Raden Wijaya terus bergerak dan ditangkap di dalam novel karya AJ Susmana. Jelas, penulisnya memberikan tafsir yang bertumbuh dan berkembang terhadap teks kerajaan ini, maka teks itu pun memberikan tafsir berbeda lagi terhadap sejarah. Begitu pun dengan para pembacanya.
Dalam konteks Goldman ini, novel ini seakan menjadi missing link dari sejarah besar kerajaan moyang kita. Tiap struktur itu membawa memori untuk terus beranak pinak lagi di masa kini dan masa depan. Memori panjang ini, mau tak mau, menggerayangi juga sebuah entitas republik bernama Indonesia.
Indonesia adalah entitas yang harus dijaga di antara rasa dan persatuan juga sikap bersama yaitu rakyat dengan kepemimpinan tiap individu yang sudah dan kelak akan tercatat di dalam sejarah. Tiap kepemimpinan telah melahirkan kebijakan yang juga akan terus diingat di dalam sejarah.
Begitu pun dengan simbol Mongol, Kubilai Khan, adalah semiotik bangsa asing, bangsa mana saja dan siapa saja akan dan terus menggerayang masuk ke tanah Nusantara. Semua produk asing baik benda atau pun pemikiran ini akan bergerak dalam sistem politik dan ekonomi yang menggurita, menjajah pikiran untuk selalu menjadi inlander yang bergerak oleh kuasa dan bertindak sebagai hamba. Bermacam-macam upetinya, dari uang, konsumerisme, berpikir yang dangkal dan tak inovatif, kehilangan kepercayaan diri dll.
Yang paling berat dalam penjajahan adalah penggerusan mental dan trauma upeti yang semakin symptom yang akut. Sikap untuk menerima, membeli, menikmati, menadah saja. Tak diimbangi dengan menghasilkan, memproduksi, melahirkan karya, menyebarkan produk, inovasi benda fisik dan teknologi, jenial dan intelektual, mandiri dan percaya diri.
Kubilai Khan di masa kini lebih sistemik, lebih cerdas, lebih konseptual dan lebih banyak jumlahnya. Tak hanya Amerika dan Jepang tapi juga naga Asia yang telah bangun dari tidurnya, Cina, plus negara lain yang mulai masuk lewat perjanjian bisnis baik pemerintah dengan pemerintah mau pun perusahaan dengan perusahaan.
Begitu pun dengan “Jayakatwang-Jayakatwang” di tiap daerah, berkaitan dengan kuasa otonomi daerah, tuan-tuan tanah juga titik produksi di sekitar rakyat yang semakin kejam dan tak perduli pada ”orang kecil”. Juragan rente, jejaring pengusaha dari penguasa di daerah dst.
Kampung Kelapa, Citayam, 18 Agustus 2024
*) Disampaikan dalan Diskusi dan Bedah Bukudi kelakar Coffee di Tebet, Jakarta Selatan, Minggu, 18 Agustus 2024.
*) Jurnalis, pengajar dan penulis. Sedang mempersiapkan novel Rumah Marsak.