Tiga bersaudara, Mira, Arya, dan Nara, melangkah ke dalam Negeri Para Penyihir, melalui gerbang besar yang memancarkan hawa dingin dari dalamnya. Langit di negeri itu berwarna ungu tua, hampir hitam, dengan kilat yang sesekali menyambar tanpa suara. Di kejauhan, bayangan-bayangan besar dari menara-menara hitam menjulang tinggi, seolah menyaksikan kedatangan mereka.
Mereka merasakan sesuatu yang aneh di udara; sihir. Setiap langkah yang mereka ambil seolah dipenuhi dengan energi magis yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya.
“Tempat ini sangat … mengerikan,” bisik Nara sambil menggenggam tangan Mira erat-erat. Matanya yang besar berkeliling penuh ketakutan.
“Kita harus tetap bersama. Jangan terlalu jauh dar; peta ini,” kata Mira sambil memegang peta yang masih bersinar samar, seolah memberikan perlindungan terhadap mereka.
Arya, yang selalu berani, merasa dadanya berdebar kencang. Dia penasaran sekaligus gugup tentang apa yang akan mereka temui. Dia telah mendengar tentang penyihir dalam cerita rakyat, tetapi berada di negeri mereka adalah hal yang jauh lebih menakutkan daripada yang dia bayangkan.
Mereka terus berjalan melewati jalan setapak berbatu yang mengarah ke sebuah desa tua. Rumah-rumah di desa itu terlihat kosong dan kumuh, seperti sudah ditinggalkan selama bertahun-tahun. Di depan salah satu rumah, ada kucing hitam dengan mata merah yang memandangi mereka tanpa berkedip. Tiba-tiba, kucing itu menghilang dalam kabut, seolah tidak pernah ada.
“Aku tidak suka tempat ini,” gumam Arya, akhirnya mengakui bahwa rasa takut mulai merayapi dirinya.
Saat mereka hendak berjalan lebih jauh, terdengar suara langkah kaki dari kejauhan. Langkah-langkah itu semakin mendekat, dan mereka bisa mendengar suara-suara aneh seperti gumaman mantra dari balik pepohonan di sekitar mereka.
“Kita harus bersembunyi!” seru Mira, menarik adik-adiknya ke balik semak belukar yang gelap.
Dari tempat persembunyian mereka, mereka bisa melihat sosok-sosok misterius muncul dari bayang-bayang. Mereka adalah para penyihir, berpakaian jubah hitam dengan topi runcing. Kulit mereka pucat seperti bulan, dan mata mereka bersinar kehijauan. Salah satu dari penyihir itu membawa sebuah tongkat kayu panjang yang berkilau dengan sihir hitam.
Mereka menggumamkan mantra dalam bahasa asing sambil berjalan menuju gerbang yang telah dilalui oleh tiga bersaudara tadi. Penyihir itu terlihat marah, seolah ada sesuatu yang mengganggu kedamaian negeri mereka.
“Seseorang telah membuka gerbang tanpa izin,” kata salah satu penyihir dengan suara serak.
“Siapa pun yang masuk akan membayar mahal.”
Arya menahan napas, sementara Mira memegangi peta dengan erat. Nara hampir menangis, tapi Mira menutup mulut adiknya, mencoba menenangkan ketakutan Nara.
“Tenanglah, kita aman di sini. Jangan bergerak,” bisik Mira.
Namun, dalam sekejap, salah satu penyihir berbalik dan menatap langsung ke arah mereka. Mata hijau menyala itu menembus kegelapan, seolah bisa melihat langsung tempat persembunyian mereka.
“Tidak ada yang bisa lolos dari kami,” kata penyihir itu dengan suara pelan tapi tajam.
Tiba-tiba, tanah di bawah kaki mereka mulai bergetar. Semak-semak di sekitar mereka bergerak seolah-olah ada tangan tak terlihat yang menggerakkannya. Tiga bersaudara itu merasa ketakutan, tetapi sebelum penyihir itu bisa mendekat, peta di tangan Mira mulai bergetar dan memancarkan cahaya yang lebih terang. Cahaya itu menyelimuti mereka, melindungi mereka dari sihir penyihir tersebut.
“Apa itu?” salah satu penyihir berteriak, kebingungan.
“Itu bukan sihir kami!” bisik yang lain.
Dalam kebingungan mereka, penyihir-penyihir itu mundur dan menghilang ke dalam kabut, meninggalkan tiga bersaudara dengan perasaan lega sekaligus ketakutan. Peta itu menyelamatkan mereka, tetapi mereka tahu bahwa negeri ini penuh dengan bahaya yang belum sepenuhnya mereka pahami.
“Bagaimana mungkin peta ini begitu kuat?” tanya Arya dengan nada heran.
“Aku juga tidak tahu. Tapi sepertinya peta ini bukan sekadar penunjuk jalan. Ada sesuatu yang lebih dalam tentangnya.” Mira menatap peta itu dengan cermat.
Mereka memutuskan untuk bergerak lebih cepat sebelum para penyihir kembali. Mereka meninggalkan desa tua itu dan melanjutkan perjalanan menuju menara hitam besar yang terlihat dari kejauhan. Peta mereka menunjukkan bahwa di menara itulah mereka akan menemukan jawaban mengenai negeri ini—dan mungkin juga cara untuk keluar dari sana.
Namun, saat mereka mendekati menara, tragedi pertama terjadi. Sebuah sosok besar dan berkilauan muncul dari balik awan gelap. Itu adalah seekor naga hitam, dengan sisik mengilap dan sayap besar yang membentang luas. Naga itu melingkar di atas menara seperti penjaga setia yang melindungi sesuatu di dalamnya.
“Bagaimana mungkin kita bisa melewati itu?” Arya mundur selangkah, mulutnya ternganga.
“Aku tidak mau pergi ke sana! Naga itu akan memakan kita!” Nara, yang ketakutan mulai menangis.
“Kita tidak punya pilihan lain. Kita harus melewati naga itu untuk melanjutkan perjalanan kita.” Mira berusaha tetap tenang meskipun hatinya juga dipenuhi kecemasan.
Saat mereka berdiskusi, tiba-tiba dari arah belakang muncul suara langkah kaki lagi. Para penyihir telah menemukan mereka! Kali ini, mereka tidak datang dengan tangan kosong. Mereka membawa pasukan makhluk bayangan yang dipanggil dari kedalaman negeri ini, siap menyerang tiga bersaudara yang tidak tahu apa yang menunggu di depan.
“Berlarilah!” teriak Mira.
Mereka berlari secepat mungkin menuju menara, sementara naga di atas mengaum keras. Selama beberapa detik, mereka merasa seluruh dunia di sekitar mereka penuh dengan kegelapan dan sihir. Namun, sesuatu yang mengejutkan terjadi. Tepat saat naga itu hendak menyemburkan api, peta di tangan Mira sekali lagi bersinar terang. Cahaya itu tidak hanya melindungi mereka, tetapi juga membuat naga tersebut berhenti dan terbang menjauh dengan ketakutan. Para penyihir tertegun, tidak percaya dengan apa yang mereka lihat.
“Itu … cahaya kuno,” bisik salah satu dari mereka, wajahnya penuh kekhawatiran.
Sambil terengah-engah, Mira, Arya, dan Nara berhasil sampai di pintu masuk menara hitam. Mereka membuka pintu besar yang terbuat dari batu dingin dan melangkah masuk, meninggalkan para penyihir dan makhluk-makhluk bayangan di belakang.
Namun, mereka tahu bahwa bahaya yang lebih besar menanti di dalam menara itu. Peta yang mereka pegang menyimpan kekuatan yang luar biasa, tapi kekuatan itu juga menarik perhatian makhluk-makhluk jahat yang menguasai negeri ini. Dan petualangan mereka baru saja dimulai.(*)
Rissa Churria adalah pendidik, penyair, esais, pelukis, aktivis kemanusiaan, pemerhati masalah sosial budaya, pengurus Komunitas Jagat Sastra Milenia (JSM), pengelola Rumah Baca Ceria (RBC) di Bekasi, anggota Penyair Perempuan Indonesia (PPI), saat ini tinggal di Bekasi, Jawa Barat, sudah menerbitkan 7 buku kumpulan puisi tunggal, 1 buku antologi kontempelasi, serta lebih dari 100 antologi bersama dengan para penyair lainnya, baik Indonesia maupun mancanegara. Rissa Churria adalah anggota tim digital dan siber di bawah pimpinan Riri Satria, di mana tugasnya menganalisis aspek kebudayaan dan kemanusiaan dari dunia digital dan siber.