DEPOK – Indonesia sudah memiliki Hari Kebaya Nasional (HKN), 24 Juli setiap tahun, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 2023. Tahun ini, 2024, untuk kali pertama HKN dirayakan.
Komunitas inklusif Bakul Budaya Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) UI, yang memiliki misi “Melestarikan Budaya, Merawat Bumi, dan Merajut Kebhinnekaan”, turut merayakan HKN 2024 pada Sabtu, 27 Juli 2024.
Bakul Budaya ikut bersukacita atas penetapan 24 Juli sebagai HKN. Bakul Budaya juga turut berbahagia atas penyelengggaraan perayaan pertama HKN tahun ini.
Bagi Bakul Budaya, kebaya merupakan bagian dari budaya Indonesia yang menyertai langkah perempuan bangsa ini dari masa ke masa. Memelihara keberadaan kebaya dari generasi ke generasi merupakan hal yang sesuai dengan misi melestarikan budaya yang diusung oleh Bakul Budaya.
Untuk mewujudkan misi itu, Bakul Budaya merayakan HKN 2024 dengan mengajak publik mengenal dengan baik kebaya Indonesia melalui kegiatan bincang-bincang yang berjudul “Kebaya: dari Makna hingga Gaya”. Auditorium Gedung IV Kampus FIB UI, Depok menjadi tempatnya.
Bagi Bakul Budaya, merayakan sesuatu, dalam hal ini HKN, tak bisa lepas dari mengenal dengan baik hal yang dirayakan itu, yakni kebaya Indonesia. Bukankah ada pepatah, tak kenal maka tak sayang?
“Perayaan HKN tidak cukup dengan selebrasi. Kebanggaan terhadap kebaya tidak cukup sampai pada generasi kita. Yang lebih penting juga bagaimana kebanggaan terhadap kebaya sebagai busana nasional dapat kita tularkan kepada generasi muda kita. Dan untuk itu kita mesti mendapatkan literasi yang benar mengenai konsep kebaya maupun berkebaya. Mengenal kebaya dengan baik dan mengenakannya dengan nyaman di segala situasi, kebaya sebagai busana yang bisa dikenakan melewati sekat perbedaan sosial, ekonomi, politik, budaya, bahkan agama, akan melahirkan kebanggaan tersendiri karena menjadi salah satu identitas yang membedakan dengan bangsa lain. Dengan demikian kebaya sebagai peninggalan warisan Nusantara akan lestari,” jelas Ketua Umum Bakul Budaya FIB UI, Dewi Fajar Marhaeni.
Untuk bincang-bincang tersebut, pakar kebaya Dr. Nita Trismaya, S.Sn., M.Ds. didapuk menjadi narasumber.
Nita lulusan S1 dari Program Studi (Prodi) Kriya Tekstil, Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) Institut Kesenian Jakarta; S2 dari Prodi Desain FSRD Institut Teknologi Bandung; dan S3 dari Departemen Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UI dengan disertasi berjudul “Retradisionalisasi Kebaya: Kembalinya Kebaya dalam Konstruksi Modern. Studi Kasus: Komunitas Kebaya di Jakarta”.
Terkait kebaya, ia telah melakukan beberapa riset, menulis sejumlah karya ilmiah, dan menjadi narasumber diskusi-diskusi tentang kebaya. Ia juga sudah menulis sederet artikel mengenai kebaya untuk media.
Selain itu, selama 2022-2023, ia menjadi bagian dari tim nasional HKN. Tahun ini, ia ada dalam tim side-event Kongres Wanita Indonesia (Kowani) untuk HKN 2024.
Bincang-bincang ini diikuti oleh enam puluhan perempuan. Mereka mengenakan aneka kebaya.
Acara dibuka dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya versi tiga stanza, dilanjutkan dengan persembahan tari “Tepak Selaras” karya Ibu Wiwik Widiastuti yang dibawakan oleh dua penari dari Bakul Budaya.
Dari mana datangnya kebaya?
Apakah kebaya merupakan pakaian tradisional asli Indonesia?
Dr. Nita mengatakan, ada yang berpendapat bahwa kebaya lahir di Jawa. Dari Jawa, kebaya kemudian menyebar ke Sumatera, Bali, Lombok, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. Persebaran budaya berpakaian itu terjadi sebagai dampak dari perdagangan pada masa Majapahit abad ketujuh.
Namun, lanjut Nita, belum ditemukan sumber valid yang memastikan asal-usul kebaya. Nita mengutip pernyataan Denys Lombard dalam buku “Nusa Jawa: Silang Budaya: Kajian Sejarah Terpadu” keluaran1996 (“Le carrefour javanais Essai d’histoire globale” atau “The Javanese Crossroads: Towards a Global History” terbitan 1990). Menurut Lombard pula, belum ditemukan sumber yang memastikan bahwa kebaya merupakan pakaian tradisional asli Indonesia.
Contohnya, dalam buku “Kebayaku”, yang ditulis oleh Debbie S. Suryawan (2014), Biranul Anas Zaman menyebut bahwa kata kebaya berasal dari kata habaya atau abaya dalam bahasa Arab. Habaya atau abaya adalah pakaian labuh berbukaan depan.
Namun, menurut Biranul, belum ditemukan catatan tertulis yang menunjukkan bahwa kebaya merupakan dampak interaksi pedagang Arab, China, dan India (muslim Gujarat).
Masih dalam buku “Kebayaku”, ada penjelasan tentang kebaya yang berasal dari kata cambaia, nama kota di India Selatan. Dalam abad pertengahan, Cambaia terkenal sebagai pusat industri tekstil yang menghasilkan kain muslin. Kain itu kemudian banyak digunakan untuk bahan kebaya. Kata cambaia pun berangsur berubah menjadi kata kebaya.
Sementara itu, Judi Achjadi dan Asmoro Damais dalam buku “Kebaya Encim: Sebuah Fenomena di Dunia Fesyen Tradisional Indonesia” (2015), menyebut bahwa kebaya diperkirakan berasal dari Persia. Mantel dari Persia, yang bernama cabie, menyebar ke barat Turki dan Kekaisaran Osmaniah serta ke selatan, yaitu ke Mughal, India.
Beberapa lukisan menggambarkan laki-laki mengenakan mantel seperti cabie di Indonesia abad ke-16 dan ke-17. Mantel itu kemudian bertransformasi menjadi baju panjang perempuan di wilayah-wilayah yang mendapat pengaruh agama Islam.
Kebaya dan berkebaya
Dalam bincang-bincang ini, para peserta juga mendapat pengetahuan tentang pakem kebaya dan berkebaya.
Kebaya adalah pakaian bagian atas untuk perempuan; dengan bukaan di bagian depan yang biasanya disatukan dengan kancing, tidak dengan ritsleting; berlengan panjang mencapai pergelangan tangan atau 7/8; dan dengan panjang pakaian sepinggul atau mencapai lutut atau melewati lutut, tetapi tidak menutupi kain yang dikenakan bersamanya.
“Sekarang kan ada, disebut kebaya, tapi ujung bawahnya sampai menyapu lantai. Itu bukan kebaya,” ucap Nita.
“Atau, disebut kebaya, tapi bukaannya di bagian belakang. Itu juga bukan kebaya,” sambung Nita.
Berkebaya pun ada pakemnya. Berkebaya adalah mengenakan kebaya bersama kain Nusantara (batik, tenun, songket, dan sebagainya), yang panjangnya mencapai mata kaki dan tidak dijahit menjadi seperti rok panjang; rambut yang disanggul; alas kaki berupa selop; perhiasan; dan tas tangan genggam atau jinjing.
Namun, zaman sekarang, biasa dijumpai kebaya dikenakan bersama celana panjang jins, rok, atau kain Nusantara yang dijahit menjadi rok bersiluet pensil, dan alas kaki kets. Termasuk berkebayakah itu?
“Itu cuma pakai kebaya, bukan berkebaya,” ujar Nita. “Budaya memang berubah, berkembang. Itu bagian dari budaya modern masa kini, supaya lebih nyaman dan mudah untuk naik dan turun angkutan umum, misalnya,” tutur Nita.
Makna dan macam
Nita menyampaikan pula bahwa kebaya dan berkebaya, sebagai warisan budaya kita, secara tradisional memiliki makna.
Contohnya, kebaya Jawa. Di dalamnya tersimpan nilai-nilai bahwa menjadi perempuan Jawa itu harus sederhana, lembut dan sopan, sekaligus kuat.
Kebaya janggan, sebagai salah satu macam kebaya Jawa, mengandung nilai-nilai ketegasan, kedalaman, kesucian, dan kesederhanaan. Kisah sejarah menyebut, kebaya hitam itu awalnya biasa dikenakan oleh Ratna Ningsih, istri Pangeran Diponegoro, pada abad ke-19. Desainnya mirip desain seragam militer Belanda. Ratna menyembunyikan keris putihnya di balik kebaya janggannya ketika mendampingi suaminya berperang.
Sampai sekarang kebaya janggan menjadi seragam perempuan abdi dalem Kraton Yogyakarta.
Di samping memiliki makna, kebaya yang tujuga bermacam-macam. Menurut berbagai sumber yang dikutip oleh Nita, ada tiga langgam kebaya, yaitu kebaya Jawa, kebaya peranakan (encim), dan kebaya Eropa (kebaya yang dikenakan oleh perempuan Eropa pada masa penjajahan bangsa Portugis dan Belanda di Indonesia).
Ada pula pengkategorian kebaya berdasarkan sebaran daerahnya sebagai bagian dari pakaian adat. Contohnya, kebaya Riau, kebaya Sunda, kebaya Jawa, kebaya Bali, dan kebaya Maluku.
Perancang fashion Didiet Maulana dalam “Kisah Kebaya” membagi langgam kebaya berdasarkan bentuknya, yaitu kebaya pendek, kebaya panjang, kebaya kutubaru, dan kebaya Kartini.
Ramah dari Rumah
Bincang-bincang “Kebaya, dari Makna hingga Gaya” bertambah menarik dengan diadakan tanya-jawab. Berbagai hal muncul dalam sesi ini.
Seorang peserta, contohnya, mengingatkan bahwa perempuan penjual jamu Jawa harus mendapat penghormatan dan penghargaan karena setia mengenakan kebaya dan kain.
Selain tanya-jawab, ada juga kuis berhadiah mengenai kebaya dan berkebaya. Hadiahnya, tas bikinan dalam negeri dari bahan batik sisa produksi busana.
Hadiah itu sesuai dengan misi Bakul Budaya “Merawat Bumi” melalui gerakan “Ramah dari Rumah”. Timbulan sampah, yang merupakan persoalan dunia, harus dikurangi semaksimal mungkin mulai dari rumah, yang juga bisa berarti mulai dari diri sendiri. Dengan pembelian tas tersebut untuk hadiah, terbantulah pengurangan timbulan sampah bahan sisa produksi busana.
Bincang-bincang “Kebaya, dari Makna hingga Gaya” ditutup dengan parade kebaya oleh tujuh peserta yang ditunjuk di tempat oleh panitia bersama narasumber.(hms)